Jakarta - Para dosen, mahasiswa dan alumni antropologi di
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Gerakan Antropolog
untuk Indonesia mengungkapkan keprihatinan atas kondisi bangsa
belakangan ini. Maraknya kekerasan oleh kelompok masyarakat yang
memaksakan kehendak sehingga mengoyak semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
"Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika terus menerus digerus," kata Prof Dr PM Laksono
saat membacakan pernyataan sikapya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM di
Bulaksumur Yogyakarta, Jumat (16/12/2016).
Perbedaan agama, ras,
etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial dan sudut pandang
adalah kenyataan dalam bermasyarakat. Semua harus mendapat tempat dan
dilindungi sebagaimana termaktub dalam konstitusi dan Pancasila.
Ditambahkan
Laksono, kebhinnekaan atau keberagaman adalah konstruksi sosial. Di
Indonesia, hal itu dibangun oleh kesadaran kolektif para pendahulu
bangsa. Sebagai pewaris yang bertanggungjawab hendaknya bisa merawat dan
tidak boleh menelantarkannya. Karena itu, kebhinnekaan dan inklusifitas
harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan.
"Kebhinnekaan
Indonesia juga bukan hal baru tapi sudah ada sebelum kita merdeka.
Kebebasan berpendapat telah disalahgunakan," tegas Laksono didampingi
sejumlah dosen dari Departemen Antropologi UGM itu.
Laksono
menambahkan negara telah lama membiarkan tempat-tempat ibadah dibakar
dan dirusak. Diskusi ilmiah dibubarkan, ritual keagamaan dihentikan, hak
milik rakyat dirusak. Rasa benci disebar secara luas, termasuk melalui
tempat ibadah di kampung, kantor hingga kampus perguruan tinggi.
"Itu semua terjadi di depan aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi dan memberi keadilan kepada rakyat," katanya.
Karena
itu, Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang bhinneka dan inklusif
menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, penyerangan dan
pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan,
keyakinan, kelas sosial atau sudut pandang yang berbeda.
Pemerintah
diminta untuk melindungi ke-Indonesiaan. Panglima TNI dan Kapolri
diminta agar merangkul seluruh rakyat dalam menjalankan tugas dan
meletakkan kepentingan negara dan bangsa yang beragam di atas
kepentingan golongan dan kelompok tertentu.
Tidak hanya itu, elit
sosial dan politik baik formal dan informal diminta agar menghentikan
segala bentuk manipulasi primordial demi kepentingan politik dan
kekuasaan sesaat.
"Khusus untuk pimpinan lembaga pendidikan dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi agar memperkuat pengawasan
internal dan menyikapi doktrinasi sektarian secara tegas," ujarnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar