Sabtu, 14 Januari 2017

Piala Afrika: Mengenalkan Diri dengan Klenik dan Merongrong Kompetisi Eropa

Banyak yang menganggap bahwa Piala Afrika adalah turnamen yang secara tidak langsung merongrong kompetisi Eropa. Ia selayak voodoo ataupun santet yang kerap menyerang kompetisi Eropa. Apa benar demikian?

Piala Afrika adalah ajang dua tahunan yang mulai diselenggarakan pada Februari 1957. Empat negara pendiri CAF (konfederasi sepakbola Afrika), yaitu Ethiopia, Sudan, Afrika Selatan, dan Mesir, adalah negara-negara yang menjadi pionir dari penyelenggaraan turnamen yang mempertemukan antar negara di Afrika ini.

Walau memang kelas dari turnamen ini tidak sebesar Piala Eropa yang kerap dianggap Piala Dunia mini ataupun Copa America, seperti halnya Piala Asia, Piala Afrika adalah pesta sepakbola lokal yang kehadirannya kerap dinanti-nantikan. Ia adalah sebuah ajang penunjukkan diri tentang siapa tim terbaik di Afrika, dan pemenangnya pun mendapatkan tempat untuk tampil dalam Piala Konfederasi.

Namun Piala Afrika, yang juga kerap disebut sebagai African Cup of Nations (AFCON) ini ternyata bukan hanya semata pesta sepakbola lokal ataupun pesta sepakbola dunia ketiga saja.

Piala Afrika, Cara Afrika Mengenalkan Diri kepada Dunia

Benua Afrika, jika dibandingkan dengan benua-benua yang lain, adalah benua yang cukup terbelakang. Angka kemiskinan begitu tinggi di sana. Selain angka kemiskinan, cuacanya yang ekstrem, serta wabah penyakit yang kerap melanda (salah satunya adalah ebola) membuat daerah ini seperti sebuah zona merah bagi para manusia yang hidup di sana.

Selain cuaca ekstrem dan kondisi sumber daya manusia yang begitu memrihatinkan, kondisi politik di Afrika pun cenderung tidak stabil. Piala Afrika 2017 yang akan digelar di Gabon pun tidak lepas dari ancaman situasi politik yang sedang memanas di Gabon pasca pemilihan presiden yang dinilai berat sebelah. Belum lagi dengan para diktator semacam Yahya Jammeh di Gambia yang masih memimpin negara-negara di Afrika. 

Kondisi ini membuat negara-negara di Afrika menjadi tidak begitu terkenal di mata dunia. Seperti halnya negara-negara di Asia, negara-negara di Afrika pun kerap dianggap sebagai negara dunia ketiga yang keberadaannya masih berada di bawah negara-negara Eropa maupun negara adidaya macam Amerika Serikat. Dunia hanya mengenal Afrika sebagai negara panas yang penuh dengan konflik dan penyakit.

Lalu, bagaimana cara mereka mengenalkan diri kepada dunia? Sepakbola lewat Piala Afrika adalah cara mereka untuk mengenalkan diri kepada dunia, sekaligus memperlihatkan bahwa Afrika pun memiliki sisi yang menarik untuk disimak.

Piala Afrika menjadi ajang bagi para bintang-bintang sepakbola Afrika untuk bersinar. Mereka menjadi tempat bagi pemain-pemain lokal untuk unjuk kemampuan, supaya kelak mereka dapat menarik perhatian kesebelasan-kesebelasan di Eropa. Piala Afrika juga menjadi sarana bagi para pemain asal negara Afrika yang bermain di liga top Eropa untuk memberikan sesuatu bagi negara mereka.

Tapi Piala Afrika yang mengenalkan sisi lain dari Afrika ini juga secara tidak langsung mengenalkan satu sisi lain dari Afrika yang masih marak terjadi di sepakbola Afrika, bahkan sampai sekarang. Hal itu adalah klenik.

Pada gelaran Piala Afrika 2002 di Mali, ada sebuah kejadian memalukan yang terjadi jelang babak semi-final yang mempertemukan antara Kamerun dan melawan Mali. Pelatih Kamerun, Winfried Schafer, dan asistennya, Thomas Nkono, harus berurusan dengan polisi karena tertangkap tangan sedang menyimpan sebuah jimat di atas lapangan. Hal ini pun langsung membuat CAF malu bukan kepalang saat itu.

"Kami tidak ingin lagi melihat praktik-praktik klenik terjadi di atas lapangan. Citra kami di dunia pun menjadi rusak karenanya," ujar juru bicara CAF perihal apa yang dilakukan Schafer saat itu.

Belum reda kejadian 2002 silam, baru-baru ini, tepatnya pada akhir Desember 2016, praktik-praktik berbau klenik dan okultisme kembali melanda Afrika. Kali ini terjadi di Liga Primer Rwanda, dan melibatkan seorang pemain bernama Moussa Camara. Sebelum mencetak gol penyama kedudukan dalam pertandingan antara Mukura Victory dan Rayon Sports, Camara terlihat membuang (atau menyimpan) sesuatu di gawang lawan.

[Baca Juga: Pemain Ini Berhasil Mencetak Gol Setelah Membuang Jimat Lawan]

Apa yang dilakukan oleh Camara ini sontak menimbulkan kemarahan para pemain lawan. Mereka mengejar Camara dan menuduh bahwa ia baru saja melakukan praktik okultisme. Hal ini membuat Jimmy Mulisa, pemain yang pernah membela timnas Rwanda, sangat-sangat malu.

"Saya merasa sedih ketika melihat kenyataan bahwa hal-hal seperti ini (praktik klenik dan okultisme) masih terjadi di Afrika, khususnya negara saya (Rwanda). Selain memberikan gambaran buruk, secara tidak langsung hal ini menghambat kemajuan sepakbola Afrika," ujar Mulisa.

Yah, inilah Afrika. Tempat modernisme dan tradisionalisme masih saling bertumpang tindih.

Merongrong Kompetisi Eropa Lewat Pemanggilan Pemain

Sejak 2013, CAF memutuskan agar Piala Afrika diselenggarakan di awal tahun. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan Piala Afrika tidak mengganggu penyelenggaraan ajang besar lain semacam Piala Dunia ataupun Piala Konfederasi. Ternyata hal ini malah membuat banyak kesebelasan Eropa berang.

Piala Afrika, Mengenalkan Diri dengan Klenik, dan Merongrong Kompetisi EropaFoto: Ian Walton/Getty Images


Penyelenggaraan Piala Afrika yang kerap berbarengan dengan masa transisi kompetisi dari paruh pertama ke paruh kedua membuat turnamen ini kerap dianggap sebagai biang keladi kegagalan sebuah kesebelasan untuk meraih prestasi. Para pemain Afrika, yang acap menjadi pemain andalan di kesebelasan masing-masing, harus meninggalkan kesebelasan untuk membela negaranya dalam ajang Piala Afrika.

Untuk Piala Afrika 2017 sendiri, tercatat ada beberapa pemain kunci yang harus menjalani tugas internasional dan meninggalkan kesebelasannya yang akan bertarung dalam fase putaran kedua kompetisi. Pemain-pemain macam Pierre-Emerick Aubameyang, Sadio Mane, Joel Matip, Younes Belhanda, Riyad Mahrez, Kalidou Koulibaly, Wilfried Zaha, Kwadwo Asamoah, dan masih banyak pemain lain harus absen karena membela timnasnya dalam ajang Piala Afrika.

Hal ini tentunya merugikan bagi kesebelasan-kesebelasan Eropa. Belum lagi ketika pulang dari tugas internasional, risiko cedera siap menghantui para pemain yang bermain dalam ajang Piala Afrika. AFCON telah menjadi voodoo dan santet tersendiri bagi para kesebelasan-kesebelasan Eropa.

Namun ini bukan menjadi alasan penurunan penampilan bagi sebuah kesebelasan, karena mereka seharusnya sudah paham akan risiko ini dan mempersiapkan rencana cadangan untuk menutupi kepergian para pemain kunci ke Piala Afrika.

Tapi tetap saja, hal ini menjadi kerugian tersendiri bagi kesebelasan-kesebelasan di Eropa sana.

**

Terlepas dari apapun label yang diberikan kepada Piala Afrika, ajang ini tetaplah menjadi sebuah pesta tersendiri bagi masyarakat lokal. Hiburan dua tahun sekali di tengah kondisi benua yang carut-marut, penuh penyakit, dan panas oleh gejolak politik ini seolah menjadi oase tersendiri bagi masyarakat Afrika.

Selain itu, Piala Afrika ini juga menjadi cara yang tepat untuk mengenalkan diri kepada dunia. Ya, cara mengenalkan diri kepada dunia bahwa Afrika masihlah menjadi benua yang cukup terbelakang dan butuh perhatian yang lebih, karena dunia begitu luas dan tidak hanya terdiri dari Eropa dan Amerika saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar