Jakarta - Kondisi DPD yang diisi dan dipimpin kader partai politik dianggap sebagai kematian demokrasi. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mendesak DPD untuk dibubarkan.
"Bagi saya ini adalah tanda-tanda matinya demokrasi justru di lembaga perwakilan yang menjadi ciri demokrasi. Dengan memaksakan kehendak, sesungguhnya hasil adapun yang dilahirkan DPD melalui paripurna akan diragukan legitimasinya," kata peneliti Formappi, Lucius Karus kepada wartawan, Selasa (4/4/2017).
Tatib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun sebenarnya sudah dibatalkan MA, namun hal itu tidak dihiraukan oleh sejumlah anggota DPD yang tetap ingin ada pemilihan ketua baru. Hal ini dianggap sebagai nafsu mengejar kekuasaan.
"Sangat kelihatan bagaimana kerja kekuasaan yang diperjuangkan dengan penuh nafsu. Ini melawan karakter DPD yang mewakili daerah. Anggota DPD semuanya sejajar karena meyakini daerah masing-masing," ungkap Lucius.
Kini, DPD sudah dikuasai oleh partai politik. Karena tidak ada bedanya dengan DPR, DPD diusulkan untuk dibubarkan saja.
"DPD sudah dikuasai partai politik. Kepentingan partai politik tersebut serentak membunuh aspirasi daerah yang diwakili oleh masing-masing anggota. Dengan begitu mestinya DPD sudah harus dibubarkan saja. Kalau DPD sama dengan DPR merepresentasikan partai politik, maka tak ada lagi perbedaan antara keduanya. Konsekuensinya DPD dibubarkan saja," paparnya.
"Daripada DPD diperalat politisi tertentu, sebaiknya sekaligus dihubarkan saja," tambah Lucius.
Oesman Sapta kini rangkap jabatan antara Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR. Lucius khawatir rangkap jabatan itu berujung ke penyalahgunaan.
"Orang yang sekaligus memegang jabatan strategis pada beberapa institusi akan punya kecenderungan untuk menyalahgunakan jabatan. Itulah sebabnya ada larangan untuk tidak menangkap jabatan," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar