Senin, 03 April 2017

Pemerhati Parlemen: Kericuhan DPD Menambah Rasa Muak Publik

Jakarta - Oesman Sapta Odang (OSO) terpilih menjadi Ketua DPD RI yang baru. Namun perjalanan DPD mencari ketua baru tidak bisa dibilang mulus. Lembaga itu gaduh sekali akhir-akhir ini.

Pada sidang paripurna DPD yang digelar Senin (3/4) kemarin hingga Selasa (4/4/2017) dini hari tadi, beberapa kejadian sempat membuat sidang diskors. Kejadian tersebut bermulai saat senator asal Jawa Timur Ahmad Nawardi di awal sidang langsung melakukan interupsi pada pimpinan sidang yang dipimpin oleh Farouk Muhammad dan GKR Hemas. 

Kejadian tersebut membuat sidang harus diskors. Skors demi skors terus terjadi karena suasana sidang paripurna DPD yang tak kunjung kondusif. Sidang baru bisa menghasilkan Ketua DPD RI baru saat sidang dibuka pada tengah malam tadi. Hasilnya, Oesman, yang merupakan salah satu pimpinan MPR, terpilih sebagai Ketua DPD menggantikan M Saleh.

Direktur Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang, menyayangkan adanya ribut-ribut yang dilakukan oleh senator dihadapan publik. Menurut Sebastian, DPD baru terdengar kiprahnya saat ada berita negatif menghinggapi lembaga tersebut. Malahan, dia juga menyebut bahwa DPD belum pernah menorehkan catatan keberhasilan atas isu daerah yang diperjuangkan sejak didirikan pada tahun 2004 lalu.

"Seperti bayi, lembaga ini (DPD) terus merengek minta belas kasihan agar kekuasaannya ditambah. Dengan kewenangan yang minim saja, tak ada prestasi yang bisa ditunjukkan. Padahal isu daerah, masalah perbatasan seabrek," ujar Sebastian dalam pembicaraan, Senin (3/4/2017) malam.

"Kericuhan hari ini (kemarin), semakin menambah rasa muak publik pada lembaga ini. Oleh karena, mereka sibuk bahkan sampai adu jotos demi merebut kekuasaan," imbuhnya.

Keberadaan DPD, lanjut Sebastian, tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah, sebab belum pernah terasa aspirasi dan kepentingan daerah diperjuangkan di tingkat nasional. Dia malah menyarankan agar keberadaan DPD dikaji ulang. Apalagi saat ini sudah banyak anggota DPD yang bergabung dengan partai politik. 

"Dengan rangkaian persoalan yang menimpa lembaga itu, rasanya perlu untuk evaluasi secara serius keberadaannya (DPD), masih perlu atau tidak. kalau masih perlu, diperkuat kewenangannya. Sebaliknya, jika tidak ya dibubarkan saja. Toh mayoritas anggotanya kini telah bergabung di partai politik. Sisanya, para penikmat kekuasaan yang senang berada di zona nyaman," tuturnya.

Sementara salah satu peneliti Formappi, Lucius Karus, menyebut bahwa kisruh yang dipertontonkan DPD dalam sidang paripurna berkaitan dengan banyaknya anggota DPD yang bergabung ke partai politik. Hal tersebut akhirnya membuat DPD menjadi medan pertempuran kepentingan.

"Ketika sebagian besar anggota DPD menjadi bagian dari parpol, maka hampir pasti corak politik yang akan menjadi dasar pembuatan keputusan," ujar Lucius.

Dengan menguasai posisi pimpinan DPD, lanjutnya, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan politisi untuk kepentingan politiknya. Apalagi, menurut Lucius, kursi pimpinan DPD adalah posisi yang strategis. Karena itu, kepentingan partai politik yang membuat posisi pimpinan dan jabatan DPD dianggap sesuatu yang mahal dan harus diperjuangkan.

"Kepentingan parpol yang membuat kursi dan jabatan DPD dianggap sesuatu yang mahal dan membuat perebutan kursi pimpinan menjadi sesuatu yang mutlak diperjuangkan," katanya.

"Itulah yang saya lihat menjadi latar belakang kekisruhan DPD pada paripurna kemarin," tutupnya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar