Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis terhadap terdakwa kasus korupsi di pengadilan tidak menimbulkan efek jera.
Dari data ICW pada tahun 2016, sebanyak 76 persen terdakwa yang menjalani sidang di kasus korupsi mendapat hukuman ringan di pengadilan tingkat pertama.
"Pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi. Vonis ringan bukan yang kali pertama terjadi. Tercatat vonis ringan terus berulang sejak tahun 2013," kata Koordinator
Divisi Hukum Dan Monitoring Peradilan ICW, Tama S Langkun di sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (4/3/2017).
Tama mengatakan sejak tahun 2013 sampai tahun 2016, mayoritas vonis yang dijatuhi pengadilan tingkat pertama di kisaran 1-1,5 tahun penjara.
"Bisa jadi hal ini dikarenakan hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimal dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor. Rata-rata vonis selama 2016 adalah 2 tahun 2 bulan penjara, maka vonis ini kurang 1/8 hukuman maksimal," ujar Tama.
"Pengadilan Tipikor harusnya berkaca pada semangat pengadilan militer, yang menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Brigjen Teddy Hernayadi, yang telah melakukan korupsi pengadaan alutsista USD 12 juta," sambung Tama.
Potret ringannya putusan pengadilan dalam perkara tipikor, sambung Tama, tak lepas dari kegagalan jaksa penuntut umum (JPU) dalam menyusun tuntutan hukuman terhadap terdakwa. ICW berpendapat tuntutan jaksa tergolong ringan secara pidana penjara maupun denda.
"Tidak disertai dengan kewajiban uang pengganti, minus pencabutan hak politik atau minus penggunaan TPPU. Jaksa seolah tidak memiliki keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi," imbuhnya.
Selain itu, Tama menyesalkan butir ayat 4 Pasal 10 KUHP tentang denda pidana yang tak terimplementasi dengan maksimal. Catatan ICW di tahun lalu, 346 terdakwa dikenakan denda ringan dengan maksimal nominal Rp 50 juta.
"Di samping itu juga masih terdapat kemungkinan terdakwa tak membayar denda dan menggantinya dengan pidana kurungan yang relatif singkat. Padahal Undang-undang Tipikor Pasal 2 dan 3 menyebutkan denda pidana yang dapat dikenakan ke terdakwa," tutur Tama.
Menurut ICW disparitas atau perbedaan putusan masih menjadi momok. Ada dua alasan mengapa ICW berpendapat demikian, pertama disparitas menciderai rasa keadilan masyarakat, kedua membuat penegakan hukum di tingkat pengadilan diragukan masyarakat.
"Dalam konteks korupsi, disparitas membuka peluang memutus perkara korupsi dengan kerugian negara besar, untuk diputus lebih ringan dibandingkan perkara dengan nilai kerugian kecil. Kondisi ekstrim disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual-beli putusan," ujar Tama.
Dari data yang dihimpun ICW, latar belakang terdakwa korupsi selama 3 tahun belakangan mayoritas adalah pegawai negeri sipil. Tahun lalu sebanyak 217 PNS terjerat pasal korupsi. Sementara objek yang masih menjadi primadona di mata para koruptor adalah pengadaan barang dan jasa.
"Jika berkaca pada aktor pelaku korupsi sepanjang 2013 sampai 2016, aktor dari kalangan PNS Pemkot, Pemkab, Pemprov adalah yang terbanyak. Dari 573 putusan kasus korupsi di 2016, hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan, pencabutan hak politik," kata Tama.
Dia juga mencontohkan nasib Muhammad Sanusi yang merupakan terdakwa kasus suap Rapeda Reklamasi dan Damayanti Wisnu Putranti yang merupakan terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan Maluku. Menurut ICW, keduanya masih beruntung.
"Saat itu jaksa menuntut agar hakim mencabut hak politik keduanya, namun saat pembacaan putusan, hakim justru menolak tuntutan jaksa dengan berbagai alasan," tuturnya.
Tama menyoroti pengelolaan informasi di Mahkamah Agung yang dinilai masih malas mengunggah putusan pengadilan tipikor, mengunggah salinan putusan yang tak dapat diunduh, mengunggah salinan putusan yang tak dapat dibaca, ringkasan putusan tidak detil, pilihan menu di website rumit.
"Reformasi di MA tidak berjalan optimal. Reformasi hanya dimaknai sekedar diuploadnya putusan-putusan pengadilan di website. Komitmen antikorupsi pimpinan MA minim," kata Tama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar